Senin, 16 April 2018

HOW FATIMAH AZZAHRA AND ALI BIN ABU THALIB LOVE EACH OTHER

Hasil gambar untuk kartun romantis islami
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkan pada siapapun, Fatimah. Putri tersayang dari Baginda Rasulullah SAW yang adalah sepupunya sendiri. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatannya, parasnya sungguh memesona dirinya. Suatu ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumuri isi perut unta. Fatimah lalu membersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. "Muhammad bin Abdullah sang terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! " kata Fatimah. Gagah berani ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu berbicara. MENGAGUMKAN! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut CINTA. Tetapi ia tersentak ketika suatu hari mendengar kabar bahwa Fatimah telah dilamar oleh Abu Bakar As-Siddiq r.a yang mempunyai kedudukan tinggi sekaligus sahabat Sang Nabi. Ali pun merasa ia sebanding dengan Abu Bakar. Ali merasa dirinya hanyalah pemuda miskin, ia bergumam "inilah persaudaraan dan cinta". "Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagian Fatimah atas cintaku." Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau memprersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Sebuah kabar gembira pun datang padanya, Lamaran Abu Bakar ditolak. Ali pun terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. 
Namun ternyata ujian tersebut belum berakhir. Setelah Abu Bakar, datanglah seorang pria tak kalah tangguhnya dari Abu Bakar As-Siddiq melamar Fatimah. Ia adalah Umar bin Khattab. Betapa tingginya kedudukan Umar di sisi Rasulullah, disisi ayah Fatimah. Umar adalah lelaki pemberani. Ia adalah panglima jenderal tertinggi dizaman Rasulullah. Ali pun sekali lagi tersadar, dinilai dari segi apapun dia tak bisa di bandingkan dengan Umar bin Khattab. 

Cinta tak pernah meminta untuk menanti

Ia mengambil kesempatan

Atau mempersilakan

Itulah keberanian

Atau pengorbanan

Maka Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran Umar di TOLAK. menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rasulullah ? Yang seperti Utsman bin Affan sang milyaderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul Ash ibn Rabi' kah, saudagar Quraisy, suami Zainab binti Rasulullah? ah dua menantu Rasullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. 

Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar